Cari Blog Ini

Senin, 03 Mei 2010

Untuk Saudariku di bumi Allah . . .
SUPER WOMAN . . . mungkin itulah yang tepat disematkan kepada para wanita sejati impian manusia. Wanita yang sukses dalam karier, dan pendidikan, sekaligus melahirkan anak-anak brilian dalam lingkungan rumah tangga yang serasi. Mereka dituntut mampu berkiprah dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Namun tetap menyandang kewajiban rumah tangga.
Islam sendiri memberikan begitu banyak peluang terhadap pengembangan potensi wanita, karena sebagai manusia wanita mempunyai banyak potensi yang sangat berguna. Potensi kecerdasan, kelembutan sikap, sensitifitas rasa, manajemen yang baik, keteraturan, hingga jumlah yang banyak.
Sejarah telah membuktikan bahwasanya banyak wanita yang telah mengubah sejarah dunia. Sebut saja Marie Curie dan Margareth Teacher. Dalam Islam pun telah kita ketahui sepak terjang Aisyah, Khansa, Ummu Sulaim, Fattimah Azzahra, Rabi’atul ‘Adawiyah sampai ke Zainab Al Ghazali.
Akan tetapi bagaimana berbagai potensi ini tidak mengubur fitrahnya sebagai ibu dari putra-putranya? Atau istri bagi suaminya? Atau da’iyah bagi lingkungannya?
Saat seorang muslimah masih lajang maka permasalahan ini mungkin tidak terasakan. Mereka masih bebas menentukan kehidupannya sendiri. Kuliah, kursus, bekerja, hingga aktifitas da’wah hingga larut malam masih bebas dijalani dengan mudah. Namun setelah menikah, dimana kewajiban dan tantangan yang dilakoni bertambah, permasalahan ini akan lebih melekat.
Untuk itu perlu beberapa persiapan bagi seorang akhwat muslimah agar kelak dapat menjadikan rumahnya seindah syurga. Syurga yang menyejukkan selepas menerima panasnya aktifitas diluar. Syurga yang indah bagi semua yang bernaung didalamnya
Manajemen Rumah
Seorang akhwat muslimah layaklah memiliki kemampuan dasar rumah tangga.
Kemampuan mengatur pernak-pernik rumah. Dari mulai menyalakan kompor, memasak, mengatur interior rumah hingga inventori rumah tangga. Ini adalah skill dasar yang harus dimiliki. Tidaklah dituntut untuk perfect melakukan segalanya, tetapi minimal mengetahui dasar-dasarnya sehingga rumah dapat nyaman dihuni, karena kebutuhan akan kenyamanan rumah menjadi suatu kebutuhan yang mutlak bagi setiap anggota keluarga. Seorang suami yang lelah sepulang kerja tentu akan bertambah stress apabila mendapati kondisi rumah yang berantakan, lantai yang belum dipel, hidangan yang belum tersedia serta cucian yang menumpuk belum dicuci. Sedikit percikan saja suami akan uring-uringan dan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah hanya tinggal slogan belaka.
Untuk itu walaupun tidak mutlak semua pekerjaan rumah dilakukan oleh istri, tetaplah hal ini diperhatikan. Soal siapa yang akan mengerjakan ini dan mengerjakan itu bisa dikompromikan dengan seluruh keluarga, namun manajemen rumah tetap ditangan ibu rumah tangga.
Untuk itulah tarbiyah akhwat selayaknya menyentuh permasalahan ini, karena tidak semua keluarga muslim mampu untuk mempekerjakan khadimat, sehingga terkadang semua pekerjaan harus dikerjakan sendiri. Bila skill ini tidak dilatih sejak dini, maka akan menyulitkan akhwat dalam perjalanan rumah tangga mereka kelak
Manajemen Keuangan
Dalam banyak rumah tangga seorang istri berperan sebagai Menteri Keuangan. Seorang suami akan menyerahkan semua nafkahnya—sedikit apapun jumlahnya—kepada istri. Ini merupakan kewajiban suami walaupun sang istri juga bekerja dengan pendapatan yang lebih besar. Untuk itu pengaturan keuangan keluarga menjadi tanggung jawab istri, sehingga penting bagi setiap akhwat untuk memiliki kemampuan dasar pengaturan keuangan keluarga. Mudah saja, berapa disisihkan untuk ini, itu dan sisanya—bila ada—ditabung untuk masa depan. Hindari berhutang, walaupun hal ini tidak dilarang, tetapi bisa mengundang fitnah apalagi apabila tidak bisa melunasinya tepat waktu.
Namun kunci utama dalam manajemen keuangan bukanlah terletak pada skill atau ketepatan prediksi pengeluaran, akan tetapi yang dibutuhkan adalah kedewasaan dalam menerima nafkah dari suami baik nafkah besar ataupun kecil.
Dewasa dalam menerima nafkah yang sedikit adalah kesabaran dalam menahan keinginan dan impian. Akhwat adalah seorang wanita juga, yang tidak banyak berbeda dengan wanita lainnya. Kecenderungan akan perhiasan dan kemewahan dunia lekat pada jiwanya. Namun bagi keluarga muslim, sebisa mungkin hal ini ditekan karena rumah tangga islami bukan bersandar keduniawian, tetapi lebih penting kepada berkah dan qona’ah atas harta tersebut.
Miris mendengar beberapa kasus yang menimpa para ikhwan. Pada saat mereka mencoba untuk menjalin bahtera rumah tangga dengan seorang akhwat muslimah. Dengan proses yang bersih, jauh dari ikhtilat jahiliyyah, namun kemudian ditolak mentah-mentah, baik dari pihak keluarga ( baik dari keluarga ikhwan maupun keluarga akhwat ) maupun dari akhwat itu sendiri. Hanya karena pendapatan bulanan mereka yang tidak memenuhi kriteria, walaupun seorang wanita juga memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya, namun janganlah hanya karena harta dunia cita-cita menjalin rumah tangga Islami terkandaskan. Teringat dengan sabda Rasulullah SAW: “Bila datang seorang laki-laki yang engkau ridhoi agamanya, untuk meminang putrimu maka terimalah” disini Rasulullah SAW hanya menyebut kriteria agama, bukan harta atau pangkatnya.
Kedewasaan Mental
Menikah adalah satu langkah menuju tegaknya Khilafah Islamiyah, maka persiapan mental didalamnya laksana persiapan membangun khilafah itu sendiri.
Dewasa dalam menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangannya. Untuk itu sebaiknya para akhwat tidak mematok kriteria tinggi dalam mendapati jodohnya, karena pada akhirnya apabila seseorang dengan kriteria seperti itu belum juga didapatkan, maka yang ada adalah kompromi-kompromi, mencoreti beberapa kriteria, yang pada akhirnya kelanjutan rumah tangganya akan menimbulkan kekecewaan terhadap pasangannya tersebut, karena tidak sesuai dengan impian. Juga dewasa dalam menghadapi pernak-pernik hidup berumah tangga, karena menjalin rumah tangga bukan hanya menjalin hubungan antara suami dengan istri, tetapi juga hubungan antar keluarga, orang tua, mertua hingga tetangga. Banyak fitnah yang terjadi saat hubungan ini tidak harmonis. Konflik istri dengan mertua, tetangga dan lain sebagainya akan menyulitkan menuju keluarga sakinah karena selalu beradu dengan konflik yang tidak perlu.
Dewasa pula dalam menghadapi kehidupan. Membagi antara aktifitas rumah tangga, da’wah dan aktifitas lain, karena Islam tidak mengebiri aktifitas wanita. Semua potensi wanita layaknya dikembangkan dalam bingkai Islam sehingga menambah dinamika dan keberkahan rumah tangga tersebut.
Dan terpenting adalah dewasa dalam menghadapi perubahan, karena antara kehidupan lajang dengan berkeluarga adalah dua alam yang berbeda. Saat lajang begitu mudahnya seseorang menjalani aktifitas yang diingini tanpa beban, namun saat berkeluarga akan terdapat berbagai batasan-batasan di satu sisi dan dukungan-dukungan disisi lain. Perubahan ini bisa jadi sangat drastis, bisa merubah segala rencana dan impian yang telah ada.
Seperti contoh: ada akhwat dari keluarga berkecukupan menikah dengan ikhwan yang sederhana. Segala fasilitas yang dahulu didapatnya kemudian sirna begitu saja. Bila tidak dewasa dalam memandang permasalahan ini, maka bahtera rumahtangga tersebut bisa berantakan. Istri yang menuntut macam-macam sementara sang suami tidak mampu berbuat apa-apa.
Kita layaknya meneladani sikap istri Umar bin Abdul Aziz, putri khalifah yang bergelimang kekayaan dan bertabur perhiasan. Namun ketika sang suami menjadi khalifah menggantikan ayahandanya, segalanya berubah. Semua perhiasan dan harta miliknya diserahkan ke Baitul Maal, bahkan hingga Umar wafat beliau memilih hidup dalam kemiskinan walaupun telah ditawarkan untuk mengambil kembali harta yang telah disedekahkannya.
Khatimah
Demikianlah, bahwa begitu banyak potensi wanita, begitu banyak peran yang bisa diambilnya. Namun tetaplah Islam mengatur peran wanita pada porsinya. Tidak mengebiri, tidak pula dibiarkan sebebas-bebasnya. Sehingga kemudian kita dapat menyaksikan sebuah peradaban yang dibangun oleh insan-insan bertaqwa, dibangun oleh keluarga-keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah, dibangun oleh masyarakat yang adil dan terbina sehingga mewujudkan suatu kesejahteraan, teratur dalam bingkai syari’ah Allah, berjalan beriringan menggapai ridho ilahi.
Posted by: “yudi purnomo” yudi_fikr@………
http://orinkeren.multiply.com/journal/item/163

Tidak ada komentar:

Posting Komentar