Cari Blog Ini

Rabu, 10 Maret 2010

Menapak tangga surga

Suatu hari seorang teman berkata sambil matanya berkaca, “Alhamdulillah, sekitar sepekan ini aku telah meninggalkan maksiat yang telah mencanduku sekian lama, dan sekitar sepekan pula aku menggantinya dengan amal kebaikan, diantaranya mensedekahkan sebagian hartaku dijalan-Nya setiap hari. Ketenteraman menyelimuti kalbuku, tiada tara indahnya. Inilah manisnya iman yang kuidamkan. Doakan agar aku istiqamah menitinya, ya..”

Allaahu Akbar! Walillaahi ilhamd..


Teman, setiap diri kita mendapatkan anugerah dari Allah berupa nafsu. Ia ditakdirkan selalu bersama kita. Nafsu tidak mungkin kita bunuh, tetapi ia juga tak layak kita umbar bahkan selalu kita turuti. Ia seharusnya kita kendalikan, agar berjalan seiring aturan. Bersyukurlah atas anugerah nafsu ini. Karena ia tak diberikan kepada para malaikat. Karenanya, kita berpeluang menjadi hamba yang lebih mulia di sisi-Nya. Tentu, salah satunya dikarenakan kecerdikan dan kecerdasan kita dalam mengendalikannya.


Ya, kita bukanlah malaikat, yang hanya Allah anugerahkan akal padanya. Sehingga senantiasa patuh dan taat kepada Rabbnya tanpa muncul keinginan untuk membantah. Sehingga selalu beribadah siang malam, tanpa ada perasaan bosan. Tetapi kita juga bukanlah binatang, yang hanya ada nafsu di kepalanya, yang dalam hidupnya hanya sekedar untuk makan, tidur, dan berkembangbiak. Kita punya keduanya, teman. Yakni nafsu dan akal. Subhanallah.. Jika manusia sukses menyeimbangkan kedua anugerah ini, ia benar-benar menjadi manusia yang beruntung. Karena itu teman, janganlah kita berlama-lama berputar dalam lingkaran kemaksiatan. Berhentilah sesegera mungkin, dan tinggalkanlah.. Maka akan kita rasakan manisnya iman yang sesungguhnya.


Wahai teman, kemaksiatan sekecil apapun tetaplah kemaksiatan, dan dosa sekecil apapun tetaplah dosa. Janganlah kita melihat besar kecilnya dosa yang kita lakukan, tetapi lihatlah betapa besarnya Dzat yang kita tentang. Allah adalah Hakim Yang Maha Adil. Barangsiapa melakukan kebaikan sebesar biji sawi pun, Allah akan membalasnya. Begitu juga yang melakukan kemaksiatan walaupun hanya sebesar biji sawi, pasti Ia akan memberi balasan yang sepadan. Masalahnya, kita tidak pernah tahu bagaimana cara Allah mengganjar kemaksiatan kita. Seperti kata seorang ulama, yang mengingatkan, “Dosa yang dilakukan setelah berbuat dosa, merupakan siksaan/ganjaran dari dosa yang pertama. Dan demikian pula sebaliknya, kebaikan yang dilakukan setelah berbuat baik adalah pahala dari kebaikan yang sebelumnya.”


Itulah teman, dosa dan kemaksiatan sekecil apapun yang dilakukan terus-menerus akan berakibat adiksi/kecanduan. Ia tidak hanya kenikmatan yang semu belaka, tetapi penuh kehampaan, belenggu dan ketersiksaan. Kenikmatan yang ada di dalam candu kemaksiatan membuat kita terlena, hingga seringkali kita tak kuasa untuk berhenti dan keluar darinya. Ibnul Jauzi menasehatkan pada kita, “Para pelaku maksiat yang terlena, ibarat para pembangkang. Hawa nafsu mereka telah menghalangi diri mereka untuk berpikir normal, hingga mereka sendiri tak memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan. Yang ada dalam benaknya cuma satu: memuaskan syahwat!” Jika sudah demikian, akal dan mata hati kita akan benar-benar buta. Ia tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua tampak abu-abu, bahkan gelap sama sekali. Na’udzubillah..


Teman, memang kita menyesal setelah sesaat menyadari apa yang baru saja kita lakukan. Yakni keterlanjuran berbuat maksiat. Kemudian kita memutuskan untuk berhenti dari kemaksiatan itu. Bagus. Hanya saja, betapa seringnya kita hanya mampu berhenti pada tangga itu saja. Pada titik itu saja. Tak ada ikhtiar yang lebih untuk tak hanya sekedar berhenti, kemudian meninggalkannya dan menggantinya dengan amal shalih yang berarti. Akibatnya, setiap ada kesempatan, kembali kita melakukan kesalahan yang sama. Berulang dan terus berulang.


Saya jadi teringat nasihat indah beberapa hari lalu dari salah seorang qiyadah dakwah (semoga Allah merahmati beliau). Dikatakannya, “…Buruknya kwalitas muamalah kita sebanding dengan rendahnya kwalitas ibadah kita. Kacaunya aktifitas hidup kita, sebanding dengan terpuruknya kwalitas maknawiyah kita. Banyaknya daftar kemaksiatan yang kita lakukan, sebanding dengan runtuhnya benteng keimanan kita…” Dan memang benar, pada saat sedang bermaksiat, pada saat itu pula telah kita tanggalkan keimanan kita.


Maka teman, coba kita teliti amalan harian kita. Apakah shalat kita sudah sempurna, atau ternyata masih ada kekurangan di sana sini, sehingga ia tidak menjadikan kita tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Bagaimana juga dengan puasa wajib dan puasa sunnah kita, sudahkah ia menjadikan kita pribadi yang lebih bertakwa? Atau, apakah makanan yang masuk ke perut kita, serta pakaian yang kita gunakan untuk beribadah sudah jelas halalnya? Barangkali saja, dalam sarana ibadah itu ada sebagian hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan, sehingga menjadikan kurang sempurnanya ibadah kita. Tentunya ini akan berimbas pada sikap dan tingkah laku keseharian kita, teman.


Allah berfirman, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Ankabut:45)


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al Baqarah:183)


Dan lagi, mari kita bersama melihat ke dalam hati kita, dan kita teliti kembali diri kita. Sudahkan kita senantiasa berupaya menjaga keikhlasan hati saat beribadah pada-Nya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka ia telah sukses dan beruntung. Dan apabila shalatnya rusak, maka ia telah gagal dan merugi.”(HR. Tirmidzi)


“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh.”(HR. Bukhari)


Lihatlah diri kita..


Sekarang saatnya, teman.. Berhentilah dari kecanduan maksiat, yang tak hanya dilakukan oleh orang awam saja. Ia ibarat penyakit, yang bisa menimpa siapa saja, bahkan para ulama dan para pegiat dakwah sekalipun. Karenanya, berhati-hatilah teman.. Dan jika sudah terlanjur, saatnya kita lepaskan diri dari jeratan tali kemaksiatan, kita keluar dari lingkaran kebatilan, kita angkat diri kita dari kubangan kezaliman, dan ingat, jangan hanya berhenti di tangga penyesalan saja. Dengan azzam (tekad) sekuat baja, melangkahlah terus ke anak tangga yang lebih tinggi. Lagi, lagi dan lagi.. Agar gelombang kemaksiatan tak lagi mampu menyeret kita untuk kembali ke arus yang lebih deras. Melainkan, justeru akan kita temukan gelombang cahaya yang mengantarkan kita pada zona amal shalih, yang penuh dengan kelezatan dan kemanisan iman.


Kukatakan, "Diri ini juga butuh doamu, teman.. Seharusnyalah kita saling mengingatkan dan saling menguatkan, agar kelak bisa memetik dan merasakan manisnya buah iman yang lebih hakiki, di surga-Nya.."




Spesial tuk semua sahabat dan saudaraku
Semoga Allah kuatkan pijakan kakimu..dalam ketaatan pada-Nya

Oleh Ummu Hilma
(dhareefonsa@yahoo.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar