Cari Blog Ini

Selasa, 30 Maret 2010

no title

alhamdulillah udah dapet kerjaan baru, ga nganggur dan uring2an lg dirumah
tapi sekalinya udah kerja, dapet kerjaan yang bertumpuk2 plek jadi satu banyak banget, serba harus cepat dan mendadak
keteter juga awal2nya,tapi lama2 udah terbiasa juga. adaptasi lah...
semua ada ceritanya, kisahnya, baik buruknya, manis pahitnya...
mudah2an aku bisa bertahan ditempat kerja yang baru, bisa beramal dan berprestasi,
berbuat sesuatu untuk orang lain, untuk kemajuan fisioterapi, untuk kebangkitan Islam juga
kampusku mau di visit sama asesor dari ban pt, mudah2an dapet akreditasi baik.amin
wah udah ngantuk nie....tidur ahhh besok brangkat pagi soalnya

Jumat, 12 Maret 2010

*Ijime Nante Kowakunai, Datte Muslim damon...

Oleh LIzsa Anggraeny


"Diledekin sih ngga takut, Aku kan Muslim..."


Begitu kira-kira arti dari judul di atas. Kalimat yang terlontar dari salah seorang anak didik saya. Gadis muslim kecil blasteran Jepang-Pakistan, berusia belum lagi genap 6 tahun saat itu. Kalimat yang kadang membuat hati saya mengharu biru, dengan mata berkaca-kaca jika mengingatnya.

Sembilan orang gadis kecil yang saat ini ada dalam didikan saya. Bersama-sama belajar tentang Islam, dalam lingkungan Sekolah Qur`an yang bernama "International Islamiah School Otsuka-Kindergarden."


Taman kanak-kanak Islam pertama di Jepang, yang baru berdiri resmi sekitar 5 tahunan ke belakang. Kurikulum yang di ajarkan, tak jauh berbeda dari kurikulum TK umum di Jepang, hanya saja dalam bobot pelajarannya ditambahkan mata pelajaran Islam berupa aqidah, akhlak, shirah dan Qur`an-sunnah dalam kesehariannya.


Bulan Maret-April ini Jepang mulai masuk musim semi. Tanda pergantian tahun ajaran baru akan dimulai. Beberapa sekolah biasanya mulai menyiapkan kelulusan ataupun penerimaan murid baru. Pun begitu dengan TK Islam tempat saya mengajar.


Beberapa orang jundi kecil -yang hampirsebagian besarmerupakan anak-anak muslim blasteran Jepang dan orang asing- dalam bulan ini akan lulus, serta mulai masuk SD umum di Jepang.


Kalimat dalam judul di atas terlontar ketika saya sedang membahas tentang acara kelulusan dengan para jundi jundilah kecil. Secara tidak sengaja, saya mengeluarkan pertanyaan pada mereka. "Kalau nanti masuk SD, mau tetap pakai jilbab?"

Pertanyaan yang sebetulnya saya lontarkan secara iseng. Mengingat, selama bersekolah di TK Islam, para gadis kecil tersebut menggunakan jilbab kecilnya yang terlihat cantik. Dan mereka tampak tak merasa canggung dengan kibaran jilbab kecilnya ketika saya ajak main di taman umum ataupun berjalan-jalan piknik di kebun binatang, misalnya.


Saya tak mengira kalau kesembilan gadis kecil anak didik saya serentak menjawab, "Hijab kaburu...! (Pakai jilbab dong!)" Diiringi riuh rendah beberapa orang yang berebut bicara sambil mengemukakan alasan baiknya memakai jilbab. Tentu, sebagai seorang pendidik, saya merasa bahagia bercampur bangga dengan jawaban tersebut.


Hingga kembali saya melontarkan pertanyaan yang merupakan fenomena sangat sensitif bagi anak-anak Jepang. Pertanyaan yang berhubung dengan kata "ijime" yang memiliki makna negatif yaitu bisa berarti diledekin-dihina ataupun digencet, dilecehkan oleh teman-temannya.


"Hijab kaburu to tomodachi ni ijimeraretara, dou suru...?" (Kalau pake jilbab, terus nanti diledekin teman-teman gimana?). Sejenak suasana kelas hening. Beberapa gadis kecil nampak berpikir.


Sampai akhirnya, salah seorang gadis kecil berhidung bangir menjawab lantang "Ijime nante kowakunai, datte muslim da mon..." (Diledekin sih nggak takut, Aku kan Muslim...).


Lalu masih dengan suara lantangnya, gadis tersebut berkata "Seorang muslim hanya takut sama Allah...!" Yang kemudian mendapat sambutan riuh rendah kembali dari teman-teman kecilnya yang sedari tadi diam sejenak, dengan inti kalimat bernada sama. "Betul...! Setuju...! Kita ngga perlu takut diledekin, kan ada Allah."


Kali ini, saya yang dibuat tertegun diam tak bergerak oleh jawaban anak-anak. Dalam riuh rendah suaranya yang mungil, ada setitik air mata bahagia bercampur bangga yang keluar dari dua bulir mata saya.

Mungkin, saya akan terus dalam suasana 'biru' jika tidak disadarkan oleh anak-anak yang mulai memeluk saya sambil berkata "Sensei daisuki.." (Aku sayang bu guru...). Yang kemudian saya balas dengan pelukan hangat paling erat untuk mereka satu persatu, sambil tak lupa menggelitik badan kecilnya, hingga mereka tertawa-tawa lucu, lalu saling menggelitik dengan sesama temannya.


Saya memandangi mereka satu persatu. Jundi jundilah kecil dengan jiwa dan hati masih jernih, yang sebentar lagi akan berpisah. Amanah terindah yang telah Allah berikan untuk saya, menjadi salah seorang pendidik bagi mereka. Ada banyak doa yang dipanjatkan untuk para anak didik saya.
 Anak-anakku....
Semoga Allah selalu menjagamu tetap dalam fitrah-Nya agar berada dalam keshalehan aqidah. Memiliki akhlak mulia yang mampu berinteraksi dengan sesamanya, hingga makin dapat mengangkat nama baik citra Islam. Memiliki kecerdasan emosi dan intektual yang mumpuni, hingga mampu menjadi cendekiawan muslim terpandang. Menjadi generasi penerus yang dapat mengibarkan bendera Islam setinggi-tingginya hingga terbentuk peradaban Islam di seluruh penjuru bumi sakura dan dunia.


Amin ya Rabbal`alamin.






Sepenggal kisahdi bumi sakura ~ aishliz.multiply.com ~

sohabah

Ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan iri di hati

Jiwaku tenteram bebas dari tekanan rasa permusuhan
Kuucapkan salam di saat berjumpa lawan
Agar manahan bibit permusuhan
Dengan ucapan salam
Kutampakkan wajah berseri kepada orang yang kubenci
Seakan berbunga hatiku penuh kecintaan
Manusia adalah penyakit
Penawarnya dengan cara mendekati
Jika menjauhi berarti mengabaikan cinta sejati

imam syafii

Rabu, 10 Maret 2010

Belajar Syahadat dari para Syuhada

Allama Mohammad Iqbal pernah berkata, “Aku beritahu kamu, tanda-tanda orang beriman. Ketika kematian datang, dia akan menyambutnya dengan senyuman.”

Saya mengingat kata-kata Mohammad Iqbal ini ketika menerima dan melihat foto jenazah Mahmoud al Mabhouh. Ada luka-luka di wajahnya. Ada bekas jeratan tali yang mencekik lehernya. Bahkan hidungnya memar, mungkin juga patah. Tapi luka-luka itu semua, terkalahkan dengan sesungging senyuman yang muncul di bibirnya.

Saya tak bisa membayangkan, apa yang dialaminya pada detik-detik terakhir dengan luka-luka seperti itu. Bahkan dalam sebuah berita, saya membaca tentang bekas luka-luka akibat sengatan listrik di kepalanya. Jika dengan segala bekas luka itu, jeratan di leher, memar di hidung, sengatan listrik di kepala, bagaimana dia bisa tersenyum di penghabisan umurnya?

Bagaimana senyum itu muncul dan mengatasi segala rasa sakit yang ada? Nalar memang kerap kali tak bisa menerjemah. Termasuk tentang fenomena kecil, senyuman dibibir jenazah syuhada (insya Allah) Mahmoud al Mabhouh.

Ustadz Samson Rahman, memberikan komentar ketika foto senyum terakhir Mahmoud al Mabhouh ini saya posting ke halaman facebook saya. ”Menjadi syuhada itu karunia. Maka kuatkanlah tekad kita!”

Ustadz Samson Rahman, banyak orang mengenalnya sebagai salah satu penerjemah terbaik materi-materi dakwah dari bahasa Arab ke Indonesia. Salah satu terjemahan terbaik yang pernah disumbangkannya adalah, La Tahzan karya Dr Aidh al Qarni. Tapi tak banyak yang mengetahui bahwa Ustadz Samson Rahman yang berdarah Madura ini adalah satu dari sedikit orang yang menjadi saksi kematian Abdullah Azzam ketika dibom di Pakistan pada tahun 1989.

Bom seberat 20 kilogram itu ditanam di sebuah gang yang akan dilalui oleh asy Syahid Abdullah Azzam. Beliau meninggal, tubuhnya terlempar dan tersandar di dinding gang. Tubuh anaknya, hancur. Bahkan potongan tubuhnya tersangkut di atas tiang listrik.

Saya mendengar kisah ini bertahun-tahun silam dari Ustadz Samson Rahman. Dan ketika beliau menuliskan komentarnya di facebook, bahwa syuhada itu adalah karunia, maka pahamlah saya mengapa jenazah Mahmoud al Mabhouh menyungging senyuman.

Bagaimana tidak!? Dia sedang memperoleh anugera besar. Tentu saja, ada sebab yang membuatnya tersenyum dan melupakan penderitaan yang dirasakan badan. Seketika saya ingat salah satu kemuliaan yang direkam Allah dalam salah satu ayat-Nya:

”Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At Taubah: 111)

Duhai, badan dan umur, nalar dan perasaan, jawablah pertanyaan yang kuajukan. Siapa yang lebih menepati janji dibanding Allah SWT? Sungguh, Allah adalah sebaik-baiknya pembuat janji. Dan dalam janji-Nya, Dia berikrar akan membela diri dan harta, setiap orang yang berjuang di jalannya dengan surga. Maka, rasa sakit manakah yang mampu menahan senyum untuk tak tersungging ketika jiwa dan harta kita dibeli dengan balasan yang sangat tinggi.

Syaikh Abdullah Azzam pernah berkata pada dirinya sendiri dan kepada anak dan istrinya. Bahwa ia telah berjanji, akan menjadikan urusan jihad sebagai urusan dalam rumah tangganya. Jihad adalah urusannya sebagai ayah. Jihad adalah urusan istrinya sebagai ibu dan permaisuri. Jihad adalah urusan anak-anak yang dilahirkan oleh rahim mulia ke bumi.

Tiba-tiba saya merasakan ngilu yang luar biasa di dalam dada. Di mana letak dan posisi saya di depan kata yang sangat mulia itu, ”Jihad.” Dimana letak dan posisi kita semua dalam di depan kata yang penuh dengan kebesaran itu?

Kita masih terlalu sering mengeluh tentang urusan dunia, bahkan pada hal-hal yang tak penting sama sekali. Tentang macet di jalan yang entah habis sampai kapan. Tentang cuaca yang mudah berubah, sebentar panas, sebenar hujan. Tentang rasa asin yang terlalu pekat dalam makanan. Tentang pundak yang letih karena bermain games atau chatting seharian. Kita mengeluhkan banyak hal yang tak ada kaitannya dengan derajat mulia seorang pejuang.

Padahal, Commander al Khattab, salah seorang pejuang legendaris Chechnya pernah berkata pada kawan-kawan seperjuangannya. ”Hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan yang paling mulia adalah perjuangan di jalan Allah SWT. Jangan mati karena urusan dunia,” tandasnya.

Mudah-mudahan dunia tidak menyita waktu dan hidup kita. Dan mudah-mudahan semua yang kita lakukan bernilai jihad dan ibadah. Paling tidak, tidak terhitung sia-sia.

Tapi ketika saya menghibur diri dengan kalimat seperti di atas, saya teringat perkataan salah seorang pejuang yang lainnya. Sayyid Quthb. Tokoh yang dianggap sebagai bapaknya radikalisme dalam Islam ini pernah berucap, ”Kata-kata tidak akan berarti apa-apa. Tidak memiliki ruh dan tenaga. Sampai, yang mengucapkan kata-kata berani memberikan nyawa dan badannya pada kata-kata yang dianggapnya benar sebagai bentuk pelaksanaan perjuangan.”

Sudahkah kita mempertaruhkan seluruh hidup kita untuk kata-kata yang benar? Ini menjadi pertanyaan lain yang harus kita berikan jawaban. Dan itu pula yang diberikan Sayyid Quthb ketika algojo memintanya mengucapkan syahadat sebelum mengakhiri umur di tiang gantungan. ”Kau tahu mengapa aku berdiri di tiang gantungan? Karena aku bulan lagi bersyahadat dengan lidah dan kata-kata. Aku telah bersyahadat dengan hidupku!” Begitu kata Sayyid Quthb lantang, menolak perintah algojo yang memintanya bersyahadat dengan lisan.

Kita, sudah sejauh apa syahadat yang kita ucapkan? Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita, untuk tidak sekadar bersyahadat dengan lisan dan kata-kata, tapi juga dengan jiwa dan raga. Amin.

Menapak tangga surga

Suatu hari seorang teman berkata sambil matanya berkaca, “Alhamdulillah, sekitar sepekan ini aku telah meninggalkan maksiat yang telah mencanduku sekian lama, dan sekitar sepekan pula aku menggantinya dengan amal kebaikan, diantaranya mensedekahkan sebagian hartaku dijalan-Nya setiap hari. Ketenteraman menyelimuti kalbuku, tiada tara indahnya. Inilah manisnya iman yang kuidamkan. Doakan agar aku istiqamah menitinya, ya..”

Allaahu Akbar! Walillaahi ilhamd..


Teman, setiap diri kita mendapatkan anugerah dari Allah berupa nafsu. Ia ditakdirkan selalu bersama kita. Nafsu tidak mungkin kita bunuh, tetapi ia juga tak layak kita umbar bahkan selalu kita turuti. Ia seharusnya kita kendalikan, agar berjalan seiring aturan. Bersyukurlah atas anugerah nafsu ini. Karena ia tak diberikan kepada para malaikat. Karenanya, kita berpeluang menjadi hamba yang lebih mulia di sisi-Nya. Tentu, salah satunya dikarenakan kecerdikan dan kecerdasan kita dalam mengendalikannya.


Ya, kita bukanlah malaikat, yang hanya Allah anugerahkan akal padanya. Sehingga senantiasa patuh dan taat kepada Rabbnya tanpa muncul keinginan untuk membantah. Sehingga selalu beribadah siang malam, tanpa ada perasaan bosan. Tetapi kita juga bukanlah binatang, yang hanya ada nafsu di kepalanya, yang dalam hidupnya hanya sekedar untuk makan, tidur, dan berkembangbiak. Kita punya keduanya, teman. Yakni nafsu dan akal. Subhanallah.. Jika manusia sukses menyeimbangkan kedua anugerah ini, ia benar-benar menjadi manusia yang beruntung. Karena itu teman, janganlah kita berlama-lama berputar dalam lingkaran kemaksiatan. Berhentilah sesegera mungkin, dan tinggalkanlah.. Maka akan kita rasakan manisnya iman yang sesungguhnya.


Wahai teman, kemaksiatan sekecil apapun tetaplah kemaksiatan, dan dosa sekecil apapun tetaplah dosa. Janganlah kita melihat besar kecilnya dosa yang kita lakukan, tetapi lihatlah betapa besarnya Dzat yang kita tentang. Allah adalah Hakim Yang Maha Adil. Barangsiapa melakukan kebaikan sebesar biji sawi pun, Allah akan membalasnya. Begitu juga yang melakukan kemaksiatan walaupun hanya sebesar biji sawi, pasti Ia akan memberi balasan yang sepadan. Masalahnya, kita tidak pernah tahu bagaimana cara Allah mengganjar kemaksiatan kita. Seperti kata seorang ulama, yang mengingatkan, “Dosa yang dilakukan setelah berbuat dosa, merupakan siksaan/ganjaran dari dosa yang pertama. Dan demikian pula sebaliknya, kebaikan yang dilakukan setelah berbuat baik adalah pahala dari kebaikan yang sebelumnya.”


Itulah teman, dosa dan kemaksiatan sekecil apapun yang dilakukan terus-menerus akan berakibat adiksi/kecanduan. Ia tidak hanya kenikmatan yang semu belaka, tetapi penuh kehampaan, belenggu dan ketersiksaan. Kenikmatan yang ada di dalam candu kemaksiatan membuat kita terlena, hingga seringkali kita tak kuasa untuk berhenti dan keluar darinya. Ibnul Jauzi menasehatkan pada kita, “Para pelaku maksiat yang terlena, ibarat para pembangkang. Hawa nafsu mereka telah menghalangi diri mereka untuk berpikir normal, hingga mereka sendiri tak memahami apa yang sebenarnya mereka lakukan. Yang ada dalam benaknya cuma satu: memuaskan syahwat!” Jika sudah demikian, akal dan mata hati kita akan benar-benar buta. Ia tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua tampak abu-abu, bahkan gelap sama sekali. Na’udzubillah..


Teman, memang kita menyesal setelah sesaat menyadari apa yang baru saja kita lakukan. Yakni keterlanjuran berbuat maksiat. Kemudian kita memutuskan untuk berhenti dari kemaksiatan itu. Bagus. Hanya saja, betapa seringnya kita hanya mampu berhenti pada tangga itu saja. Pada titik itu saja. Tak ada ikhtiar yang lebih untuk tak hanya sekedar berhenti, kemudian meninggalkannya dan menggantinya dengan amal shalih yang berarti. Akibatnya, setiap ada kesempatan, kembali kita melakukan kesalahan yang sama. Berulang dan terus berulang.


Saya jadi teringat nasihat indah beberapa hari lalu dari salah seorang qiyadah dakwah (semoga Allah merahmati beliau). Dikatakannya, “…Buruknya kwalitas muamalah kita sebanding dengan rendahnya kwalitas ibadah kita. Kacaunya aktifitas hidup kita, sebanding dengan terpuruknya kwalitas maknawiyah kita. Banyaknya daftar kemaksiatan yang kita lakukan, sebanding dengan runtuhnya benteng keimanan kita…” Dan memang benar, pada saat sedang bermaksiat, pada saat itu pula telah kita tanggalkan keimanan kita.


Maka teman, coba kita teliti amalan harian kita. Apakah shalat kita sudah sempurna, atau ternyata masih ada kekurangan di sana sini, sehingga ia tidak menjadikan kita tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Bagaimana juga dengan puasa wajib dan puasa sunnah kita, sudahkah ia menjadikan kita pribadi yang lebih bertakwa? Atau, apakah makanan yang masuk ke perut kita, serta pakaian yang kita gunakan untuk beribadah sudah jelas halalnya? Barangkali saja, dalam sarana ibadah itu ada sebagian hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan, sehingga menjadikan kurang sempurnanya ibadah kita. Tentunya ini akan berimbas pada sikap dan tingkah laku keseharian kita, teman.


Allah berfirman, “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Ankabut:45)


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al Baqarah:183)


Dan lagi, mari kita bersama melihat ke dalam hati kita, dan kita teliti kembali diri kita. Sudahkan kita senantiasa berupaya menjaga keikhlasan hati saat beribadah pada-Nya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka ia telah sukses dan beruntung. Dan apabila shalatnya rusak, maka ia telah gagal dan merugi.”(HR. Tirmidzi)


“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh.”(HR. Bukhari)


Lihatlah diri kita..


Sekarang saatnya, teman.. Berhentilah dari kecanduan maksiat, yang tak hanya dilakukan oleh orang awam saja. Ia ibarat penyakit, yang bisa menimpa siapa saja, bahkan para ulama dan para pegiat dakwah sekalipun. Karenanya, berhati-hatilah teman.. Dan jika sudah terlanjur, saatnya kita lepaskan diri dari jeratan tali kemaksiatan, kita keluar dari lingkaran kebatilan, kita angkat diri kita dari kubangan kezaliman, dan ingat, jangan hanya berhenti di tangga penyesalan saja. Dengan azzam (tekad) sekuat baja, melangkahlah terus ke anak tangga yang lebih tinggi. Lagi, lagi dan lagi.. Agar gelombang kemaksiatan tak lagi mampu menyeret kita untuk kembali ke arus yang lebih deras. Melainkan, justeru akan kita temukan gelombang cahaya yang mengantarkan kita pada zona amal shalih, yang penuh dengan kelezatan dan kemanisan iman.


Kukatakan, "Diri ini juga butuh doamu, teman.. Seharusnyalah kita saling mengingatkan dan saling menguatkan, agar kelak bisa memetik dan merasakan manisnya buah iman yang lebih hakiki, di surga-Nya.."




Spesial tuk semua sahabat dan saudaraku
Semoga Allah kuatkan pijakan kakimu..dalam ketaatan pada-Nya

Oleh Ummu Hilma
(dhareefonsa@yahoo.com)


Senin, 08 Maret 2010

wong fei hung ternyata ulama dan pendekar sekaligus tabib

Selama ini kita hanya mengenal Wong Fei Hung sebagai jagoan Kung fu dalam film Once Upon A Time in China. Dalam film itu, karakter Wong Fei Hung diperankan oleh aktor terkenal Hong Kong, Jet Li. Namun siapakah sebenarnya Wong Fei Hung?



Wong Fei Hung adalah seorang Ulama, Ahli Pengobatan, dan Ahli Beladiri legendaris yang namanya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional China oleh pemerintah China. Namun Pemerintah China sering berupaya mengaburkan jatidiri Wong Fei Hung sebagai seorang muslim demi menjaga supremasi kekuasaan Komunis di China.



Wong Fei-Hung dilahirkan pada tahun 1847 di Kwantung (Guandong) dari keluarga muslim yang taat. Nama Fei pada Wong Fei Hung merupakan dialek Canton untuk menyebut nama Arab, Fais. Sementara Nama Hung juga merupakan dialek Kanton untuk menyebut nama Arab, Hussein. Jadi, bila di-bahasa-arab-kan, namanya ialah Faisal Hussein Wong.



Ayahnya, Wong Kay-Ying adalah seorang Ulama, dan tabib ahli ilmu pengobatan tradisional, serta ahli beladiri tradisional Tiongkok (wushu/kungfu). Ayahnya memiliki sebuah klinik pengobatan bernama Po Chi Lam di Canton (ibukota Guandong). Wong Kay-Ying merupakan seorang ulama yang menguasai ilmu wushu tingkat tinggi. Ketinggian ilmu beladiri Wong Kay-Ying membuatnya dikenal sebagai salah satu dari Sepuluh Macan Kwantung. Posisi Macan Kwantung ini di kemudian hari diwariskannya kepada Wong Fei Hung.



Kombinasi antara pengetahuan ilmu pengobatan tradisional dan teknik beladiri serta ditunjang oleh keluhuran budi pekerti sebagai Muslim membuat keluarga Wong sering turun tangan membantu orang-orang lemah dan tertindas pada masa itu. Karena itulah masyarakat Kwantung sangat menghormati dan mengidolakan Keluarga Wong.



Pasien klinik keluarga Wong yang meminta bantuan pengobatan umumnya berasal dari kalangan miskin yang tidak mampu membayar biaya pengobatan. Walau begitu, Keluarga Wong tetap membantu setiap pasien yang datang dengan sungguh-sungguh. Keluarga Wong tidak pernah pandang bulu dalam membantu, tanpa memedulikan suku, ras, agama, semua dibantu tanpa pamrih.



Secara rahasia, keluarga Wong terlibat aktif dalam gerakan bawah tanah melawan pemerintahan Dinasti Ch’in yang korup dan penindas. Dinasti Ch’in ialah Dinasti yang merubuhkan kekuasaan Dinasti Yuan yang memerintah sebelumnya. Dinasti Yuan ini dikenal sebagai satu-satunya Dinasti Kaisar Cina yang anggota keluarganya banyak yang memeluk agama Islam.



Wong Fei-Hung mulai mengasah bakat beladirinya sejak berguru kepada Luk Ah-Choi yang juga pernah menjadi guru ayahnya. Luk Ah-Choi inilah yang kemudian mengajarinya dasar-dasar jurus Hung Gar yang membuat Fei Hung sukses melahirkan Jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang legendaris. Dasar-dasar jurus Hung Gar ditemukan, dikembangkan dan merupakan andalan dari Hung Hei-Kwun, kakak seperguruan Luk Ah-Choi. Hung Hei-Kwun adalah seorang pendekar Shaolin yang lolos dari peristiwa pembakaran dan pembantaian oleh pemerintahan Dinasti Ch’in pada 1734.



Hung Hei-Kwun ini adalah pemimpin pemberontakan bersejarah yang hampir mengalahkan dinasti penjajah Ch’in yang datang dari Manchuria (sekarang kita mengenalnya sebagai Korea). Jika saja pemerintah Ch’in tidak meminta bantuan pasukan-pasukan bersenjata bangsa asing (Rusia, Inggris, Jepang), pemberontakan pimpinan Hung Hei-Kwun itu niscaya akan berhasil mengusir pendudukan Dinasti Ch’in.



Setelah berguru kepada Luk Ah-Choi, Wong Fei-Hung kemudian berguru pada ayahnya sendiri hingga pada awal usia 20-an tahun, ia telah menjadi ahli pengobatan dan beladiri terkemuka. Bahkan ia berhasil mengembangkannya menjadi lebih maju. Kemampuan beladirinya semakin sulit ditandingi ketika ia berhasil membuat jurus baru yang sangat taktis namun efisien yang dinamakan Jurus Cakar Macan dan Jurus Sembilan Pukulan Khusus. Selain dengan tangan kosong, Wong Fei-Hung juga mahir menggunakan bermacam-macam senjata. Masyarakat Canton pernah menyaksikan langsung dengan mata kepala mereka sendiri bagaimana ia seorang diri dengan hanya memegang tongkat berhasil menghajar lebih dari 30 orang jagoan pelabuhan berbadan kekar dan kejam di Canton yang mengeroyoknya karena ia membela rakyat miskin yang akan mereka peras.



Dalam kehidupan keluarga, Allah banyak mengujinya dengan berbagai cobaan. Seorang anaknya terbunuh dalam suatu insiden perkelahian dengan mafia Canton. Wong Fei-Hung tiga kali menikah karena istri-istrinya meninggal dalam usia pendek. Setelah istri ketiganya wafat, Wong Fei-Hung memutuskan untuk hidup sendiri sampai kemudian ia bertemu dengan Mok Gwai Lan, seorang perempuan muda yang kebetulan juga ahli beladiri. Mok Gwai Lan ini kemudian menjadi pasangan hidupnya hingga akhir hayat. Mok Gwai Lan turut mengajar beladiri pada kelas khusus perempuan di perguruan suaminya.



Pada 1924 Wong Fei-Hung meninggal dalam usia 77 tahun. Masyarakat Cina, khususnya di Kwantung dan Canton mengenangnya sebagai pahlawan pembela kaum mustad’afin (tertindas) yang tidak pernah gentar membela kehormatan mereka. Siapapun dan berapapun jumlah orang yang menindas orang miskin, akan dilawannya dengan segenap kekuatan dan keberanian yang dimilikinya. Wong Fei-Hung wafat dengan meninggalkan nama harum yang membuatnya dikenal sebagai manusia yang hidup mulia, salah satu pilihan hidup yang diberikan Allah kepada seorang muslim selain mati Syahid. Semoga segala amal ibadahnya diterima di sisi Allah Swt dan semoga segala kebaikannya menjadi teladan bagi kita, generasi muslim yang hidup setelahnya. Amiin. (kaskus.us)
 
cybersabili.com

Menanam Benih Kesadaran

Saya belajar tentang menanam benih budi dari seorang bernama Ustadz Salamat Hashim. Beliau adalah pemimpin Moro Islamic Front Liberation, gerakan Islam yang memperjuangkan kemerdekaan bagi kaum Muslimin di wilayah Mindanao, Filipina Selatan. Beliau mengatakan kata-kata yang bagi saya sangat kuat pesannya:

“If this freedom cannot be achieved during my lifetime, I can assure you, and I can assure everybody, that I have already planted the seeds of Jihad. I have already planted the idea of fighting for freedom in the heart of my people, the Bangsamoro people.”

(Jika kemerdekaan ini tidak bisa dicapai semasa saya hidup, maka saya memastikan pada Anda, saya akan memastikan pada semua orang, bahwa saya telah menabur dan menanam benih Jihad. Saya telah menanam ide perjuangan kemederkaan di dalam hati semua orang. Di dalam hati kaum saya, Bangsamoro.)

Tak banyak pejuang yang bisa mengecap kemenangan dan hasil dari perjuangannya. Kalaupun ada, mungkin bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Salah satu nama yang bisa kita sebut adalah Nelson Mandela, yang akhirnya bisa melihat langit cerah dan matahari keadilan di Afrika Selatan, setelah tahun-tahun pedih di bawah apartheid mereka rasakan. Sisanya, banyak sekali orang-orang seperti Ustadz Salamat Hashim yang meninggal karena serangan jantung setelah berjalan kaki empat hari menghindari serangan militer Filipina.

Hari itu, di sebuah tempat bernama Kamp Abu Bakar, Ustadz Salamat Hashim sedang menyampaikan Khutbah Idul Adha tahun 2000 silam. Ketika serangan udara dari pesawat udara militer Filipina menghujani tempatnya dengan peluru-peluru besar yang mematikan. Setelah berjalan kaki berhari-hari, Ustadz Salamat Hashim sudah merasakan, ajal sudah mendekat dan nyaris tak berjarak. Beberapa usaha pengobatan sudah dilakukan, bahkan ada usaha untuk membawa Ustadz Salamat Hashim keluar dari Filipina untuk mendapatkan perawatan. Tapi beliau menolak.

“Biarlah saya mati di sini, di tanah yang saya cintai, dikeliling orang-orang yang saya kenali, yang dihatinya telah ditanam benih perjuangan.” Setelah menunjuk pemimpin yang akan melanjutkan perjuangan, Ustadz Salamat Hashim pun menghembuskan napas terakhirnya dalam pergolakan.

Menanam benih. Betapa sederhana sebetulnya hidup ini. Kemenangan hanyalah sebuah konsekuensi logis dari benih-benih yang tumbuh dan berkembang. Membesar dan memberikan hasil yang maksimal. Benih-benih mengakar jauh ke dalam tanah, mengokohkan pokok yang tinggi menjulang ke angkasa.

Siapakah mereka yang menanam benih hari ini? Masih adakah orang-orang yang bersungguh menyiangi benih-benih yang sudah di tabur, menjaganya dari serangan hama yang menganggu dan memberikan pupuk agar tumbuh subur?

Ini adalah tugas yang sebenarnya harus kita lakukan. Menabur dan menanam benih, menjaga dan menyirami, memupuk dan membesarkan. Tanpa harus menganggap ringan orientasi hasil akhir, kita harus bersungguh-sungguh dalam proses penanaman. Karena memang, tak ada yang pernah tahu, kapan musim panen tiba dan hasil bisa dituai dengan senyum gembira.

Jangan menjadi orang-orang yang ke bawah tak mengakar, ke atas dan berpucuk, dan di tengah-tengah di heret kumbang.

Menanam benih kesadaran. Itu tugas besar yang harus kita lakukan saat ini. Tak peduli berapa lama kemenangan dan kejayaan akan diraih, mungkin kita bisa menyaksikan, mungkin juga tak pernah. Tapi yang harus kita pastikan adalah, sudahkah kita menanam kesadaran pada orang-orang, agar perjuangan bisa diwariskan?

by herry nurdi

Selasa, 02 Maret 2010

dosen itu kerennn

hari ini ke RSJ ngambil hasil psikotest,ternyata amplopnya disegel. hari ini juga langsung aku anter ke kampus. langsung ketemu ka.prodi untuk pertama kalinya. ditunjukin jadwal ngajar dosen, kaget, ga nyangka, seneng banget pas ngeliat jadwalnya tiba2 namaku udah tercantum sebagai dosen lengkap dengan mata kuliah yang akan aku ajar. wah padahal wawancara aja belom, hasil psikotest belum lagi dibuka, tapi udah dicantumin aja di jajaran para dosen (ehm...!) alhamdulillah.
aku disuruh dateng dua minggu lagi tuk wawancara karena mulai besok kampus bakal libur selama 2 minggu untuk acara tadabbur alam. hmmm padahal tanggal 15 maret itu udah masuk masa perkuliahan semester genap!!! dan aku udah bisa langsung ngajar karena udah dijadwalin begitu. wah wah wah, sekarang aku punya waktu 2 minggu untuk nyiapin materi kuliah (cieee...). deg2an juga ngebayangin nanti akan ngajar, berhadapan langsung dengan mahasiswa. Ya Allah ga pernah terbayang bakal jadi dosen, apalagi terlintas sebagai cita2, ga pernah! tapi sekarang yang aku rasain adalah seneng banget kalo bisa beramal sholeh dengan berbagi ilmu, n mudah2an aja ilmu yang aku bagikan ini bisa bermanfaat, jadi amal jariyah yang memberatkan timbangan amal aku.aaaaaaaaaamiiiiin. kenapa ya,,,persepsi aku tentang dosen itu jadiiiiii..................
KERRRREEEEEEEENNNNNNN BANGEEEETTTTT :D